Kamis, 01 November 2012

Senjata Pusaka Ta'awu Pada Masyarakat Tolaki Konawe




Suku-suku bangsa pada umumnya memiliki benda pusaka tersendiri  yang memiliki ciri,  jenis, bentuk dan makna yang  berbeda- beda, sehingga hal ini memberikan kebanggaan dan  kepuaasan tersendiri bagi masyarakat pemiliknya. Seperti pada orang Tolaki, memiliki senjata pusaka yang disebut Ta’awu.  Senjata ta’awu adalah parang panjang yang memiliki ukuran sesuai dengan tinggi badan yang memilikinya, cara pengukurannya di ukur mulai dari kepala sampai pada tulang ekor orang yang akan memiliki dan menggunakannya, ujung atasnya tipis dan berbentuk runcing, lebarnya 5 cm, lebar  bagian bawahnya 2 cm  dan dilapisi oleh pegangan atau gagang yang terbuat dari kayu keras, tetapi dulunya menggunakan tanduk kerbau,  antara badan parang dengan pegangan atau gagang memiliki jarak yang diukur memakai 4 jari tangan (Aro no), bagian ujung gagang biasanya terdapat 3 helai rambut, rambut tersebut berasal dari korban pertama ketika ta’awu baru dipergunakan.
Senjata Ta’awu tidak dipergunakan sembarangan, misalnya  memotong kayu, memaras rumput dan hal lainnya. Parang Ta,awu hanya boleh dipergunakan ketika dalam masa peperangan atau sebagai perisai diri bagi orang yang menggunakannya yang berfungsi untuk melindungi diri dari serangan yang bersifat fisik. Ta’awu juga dianggap mempunyai kekuatan gaib sehingga dapat membantu orang yang memiliki dan menggunakannya. Hal ini tercermin pada orang yang menggunakan ta’awu tersebut dimana pada awalnya tidak memiliki keberanian tetapi setelah menggunakan ta’awu, maka yang bersangkutan akan merasa mempunyai kekuatan dan keberanian untuk dapat mengalahkan musuh-musuhnya. 
Ta’awu biasanya oleh orang Tolaki dijadikan sebagai benda yang memiliki nilai sakral dan sangat dikeramatkan yang secara turun-temurun dimiliki orang Tolaki yang memiliki garis keturunan dari Tamalaki atau dari Bangsawan yang melalui sistem pewarisan pusaka dan diatur menurut keturunan tingkat strata sosialnnya.  Misalnya dalam suatu keluarga inti, ketika orang tua Laki-laki (Ayah) telah memasuki usia tua atau sudah tidak bisa lagi menjaga Ta’awu milik leluhurnya, yang harus dilakukannya adalah mewariskan  pusaka ta’awu tersebut kepada anak tertua laki-lakinya atau anak-laki-laki keduanya. Bila ia tidak memiliki anak laki-laki, maka diwariskan kepada anak menantunya, jika ia tidak mempunyai keturunan, maka diwariskan kepada iparnya atau laki-laki lain yang masih ada hubungan pertalian darah dengannya. Hal ini  berdasarkan anjuran dari leluhur, karena setiap laki-laki yang telah dewasa dianggap telah bisa melakukan peperangan untuk membela hak-haknya, keluarganya, dan masyarakatnya. Pengguna ta’awu harus mempunyai kekuatan tersendiri, dan pengetahuan yang terkait dengan  senjata  ta’awu miliknya yang diajarkan oleh seorang guru dalam bahasa Tolaki disebut Ande guru atau Tono motuo.
Ta’awu pada prinsipnya sebelum digunakan sesuai dengan fungsinya, ada upacara-upacara khusus (ritual) yang harus dilakukan oleh para peserta yang dipimpin oleh Ande guru. Hal ini dipercaya akan menambah kekuatan dan kesaktian mereka, dan juga senjata pusaka Ta’awu  yang akan mereka gunakan  dengan cara  membacakan doa-doa atau mantra-mantra tertentu yang di sertai dengan 1 senjata ta’awu, 7 lembar daun sirih, 5 biji buah pinang, 1 jeruk purut (munde male), dan 1 cerek atau termos minuman pongasi (arak) yang harus diminum oleh semua peserta ketika kesaktiannya akan diuji oleh Ande guru.
Dulu orang yang  dapat memimpin upacara  ritual ta’awu adalah Tono motuo (orang yang dituakan atau sesepuh) yang ditunjuk oleh  Mokole  (Raja).  Tetapi sekarang hanya dilihat dari pengalaman dan kesaktian seseorang saja yang telah dipercaya dan juga telah teruji kebenarannya, orang inilah yang diberi gelar Ande Guru.

Rabu, 19 Oktober 2011

arus perpolitikan konawe


Demokrat Optimis Pilkada Konawe
Sabtu, 21 November 2009 - 12:24 | Kategori: Politik Nasional
Merdeka.com - Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Sulawesi Tenggara (Sultra), percaya diri bisa memenangi Pilkada di Konawe Selatan (Konsel) yang akan digelar tahun 2010.
Rasa percaya diri Partai Demokrat ini terlihat dengan tidak adanya lagi penjaringan calon bupati karena mereka telah sepakat akan mengusung H. Imran, Ketua DPD Demokrat Sultra sebagai calon bupati.
"Demokrat sepakat untuk mengusung pak Imran untuk kembali menjadi bupati di Konsel. Tidak ada tokoh yang lebih baik untuk diusung demokrat selain ketua sendiri," kata Sekretaris Dewan Pakar Partai Demokrat Sultra Syamsul Ibrahim di Kendari, Sabtu.
Salah satu keyakinan Partai Demokrat untuk mengusung Imran sebagai bupati juga karena hasil survei yang dilakukan menunjukkan Bupati Konsel periode 2005-2010 ini masih layak untuk memimpin Konsel.
"Dari hasil survei yang dilakukan, popularitas Imran mencapai 95% dengan tingkat elektabilitas (keterpilihan) mencapai 70%. Dengan angka ini, kita cukup percaya diri untuk menang Pilkada di Konsel," jelas Syamsul.
Keyakinan menang ini juga karena pada pemilu legislatif lalu, PD meraih tujuh kursi di kabupaten ini sekaligus menempatkan kadernya sebagai Ketua DPRD setempat, padahal pada Pemilu 2004 lalu, tak satu pun kursi diperoleh PD.
Menurut Syamsul yang juga anggota tim penjaringan bakal calon bupati-wakil bupati untuk Kabupaten Konawe Utara (Konut) itu, PD hanya akan menjaring calon wakil bupati yang akan mendampingi Imran.
Sejumlah kandidat wakil bupati yang sedang dalam tahap survei oleh tim penjaringan adalah Wakil Bupati Sutoardjo Pondiu yang juga Ketua DPC Demokrat Konsel, Wakil Ketua DPRD Sultra Muhamamad Endang yang juga Sekretaris DPD Demokrat Sultra dan Ketua DPRD Konsel Edy.
"Tiga figur ini adalah calon-calon kuat yang saat ini sedang dalam tahap penjaringan di internal partai. Selain itu, masih ada juga figur-figur lain di lingkup birokrasi seperti sejumlah kepala dinas," jelas Syamsul. (ant/bee)